Ada pernyataan menarik yang dikemukakan mantan Presiden AS ThomasJefferson sebagaimana dikutip Copi (1978) berikut ini: " In a republican nation, whosecitizens are to be led by reason and persuasion and not by force, the art of reasoningbecomes of first importance" (p. vii).Pernyataan itu menunjukkan pentingnya logika, penalaran dan argumentasi dipelajari dan dikembangkan di suatu negara sehingga setiap warga negara akan dapat dipimpin dengan daya nalar (otak) dan bukannya dengan kekuatan (otot) saja. Karenanya, seperti yang dinyatakan mantan Presiden AS tadi, senibernalar merupakan hal yang sangat penting. Di samping itu, Copi (1978) juga mengutippendapat Juliana Geran Pilon yang senada dengan yang diucapkan mantan Presiden AStadi: "Civilized life depends upon the success of reason in social intercourse, theprevalence of logic over violence in interpersonal conflict"(p. vii).
Dua pernyataan di atas telah menunjukkan pentingnya penalaran (reasoning)dalam percaturan politik dan pemerintahan di suatu negara. Tidak hanya di bidangketatanegaraan maupun hukum saja kemampuan bernalar itu menjadi penting. Di saatmempelajari matematika maupun ilmu-ilmu lainnya penalaran itu menjadi sangat pentingdan menentukan. Secara etimologis, logika berasal dari kata Yunani'logos' yang berarti kata, ucapan, pikiran secara utuh, atau bisa juga berarti ilmu pengetahuan (Kusumah, 1986). Dalam arti luas, logika adalah suatu cabang ilmu yang mengkaji penurunan- penurunan kesimpulan yang sahih (valid, correct) dan yang tidak sahih (tidak valid,incorrect). Proses berpikir yang terjadi di saat menurunkan atau menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan yang diketahui benar atau dianggap benar itu sering juga disebut dengan penalaran (reasoning).
Dimulai sejak ia masih kecil, setiap manusia, sedikit demi sedikit melengkapi perbendaharaan kata-katanya. Di saat berkomunikasi, seseorang harus menyusun kata-kata yang dimilikinya menjadi suatu kalimat yang memiliki arti atau bermakna. Kalimat adalah susunan kata-kata yang memiliki arti yang dapat berupa pernyataan ("Pintu itu tertutup."), pertanyaan ("Apakah pintu itu tertutup?"), perintah ("Tutup pintu itu!") ataupun permintaan ("Tolong pintunya ditutup."). Dari empat macam kalimat tersebut, hanya pernyataan saja yang memiliki nilai benar atau salah, tetapi tidak sekaligus benar atau salah. Meskipun para ilmuwan, matematikawan ataupun ahli-ahli lainnya seringmenggunakan beberapa macam kalimat tersebut dalam kehidupan sehari-harinya, namun hanya pernyataan saja yang menjadi perhatian mereka dalam mengembangkan ilmunya. Setiap ilmuwan, matematikawan, ataupun ahli-ahli lainnya akan berusaha untuk
menghasilkan suatu pernyataan atau teori yang benar. Suatu pernyataan (termasuk teori) tidak akan ada artinya jika tidak bernilai benar. Karenanya, pembicaraan mengenai benar tidaknya suatu kalimat yang memuat suatu teori telah menjadi pembicaraan dan perdebatan para ahli filsafat dan logika sejak dahulu kala. Beberapa nama yang patut diperhitungkan karena telah berjasa untuk kita adalah Plato (427 − 347 SM), Aristoteles (384 − 322 SM), Charles S Peirce (1839 − 1914) dan Bertrand Russell (1872 − 1970).
Paparan berikut akan membicarakan tentang kebenaran, dalam arti, bilamana suatu
pernyataan yang dimuat di dalam suatu kalimat disebut benar dan bilamana disebut salah.
Untuk menjelaskan tentang kriteria kebenaran ini perhatikan dua kalimat berikut:
a. Semua manusia akan mati.
b. Jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga adalah 180
.
Pertanyaannya, dari dua kalimat tersebut, kalimat manakah yang bernilai benar dan manakah yang bernilai salah. Pertanyaan selanjutnya, mengapa kalimat tersebut dikategorikan bernilai benar atau salah, dan bilamana suatu kalimat dikategorikan sebagai kalimat yang bernilai benar atau salah. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Suriasumantri (1988) menyatakan bahwa ada tiga teori yang berkait dengan kriteria kebenaran ini, yaitu : teori korespondensi, teori koherensi, dan teori pragmatis. Namun sebagian buku hanya membicarakan dua teori saja, yaitu teori korespondensi dan teori koherensi sehingga pembicaraan kita hanya berkait dengan dua teori tersebut.
1. Teori Korespondensi
Teori korespondensi (the correspondence theory of truth) menunjukkan bahwa suatu kalimat akan bernilai benar jika hal-hal yang terkandung di dalam pernyataan tersebut sesuai atau cocok dengan keadaan yang sesungguhnya. Contohnya, “Surabaya adalah ibukota Propinsi Jawa Timur” merupakan suatu pernyataan yang bernilai benar karena kenyataannya memang demikian, yaitu Surabaya memang benar merupakan ibukota Propinsi Jawa Timur. Namun pernyataan “Tokyo adalah Ibukota Singapura”, menurut teori ini akan bernilai salah karena hal-hal yang terkandung di dalam pernyataan itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Teori-teori Ilmu Pengetahuan Alam banyak didasarkan pada teori korespondensi ini.
Dengan demikian jelaslah bahwa teori-teori atau pernyataan-pernyataan Ilmu Pengetahuan Alam akan dinilai benar jika pernyataan itu melaporkan, mendeskripsikan, ataupun menyimpulkan kenyataan atau fakta yang sebenarnya. Sedangkan Matematika yang tidak hanya mendasarkan pada kenyataan atau fakta semata-mata namun mendasarkan pada rasio dan aksioma telah melahirkan teori koherensi yang akan dibahas
pada bagian berikut ini.
2. Teori Koherensi
Teori koherensi menyatakan bahwa suatu kalimat akan bernilai benar jika pernyataan yang terkandung di dalam kalimat itu bersifat koheren, konsisten, atau tidak bertentangan dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Contohnya, pengetahuan Aljabar telah didasarkan pada pernyataan pangkal yang dianggap benar.
Pernyataan yang dianggap benar itu disebut aksioma atau postulat.
Vance (19..) menyatakan ada enam aksioma yang berkait dengan bilangan real a, b,
dan c terhadap operasi penjumlahan (+) dan perkalian (.) berlaku sifat:
1) tertutup, a + b ∈ R dan a.b ∈ R.
2) asosiatif, a +(b + c) = (a + b) + c dan a .(b . c) = (a . b) . c
3) komutatif, a + b = b + a dan a.b = b.a
4) distributif, a.(b + c) = a.b + a.c dan (b + c).a = b.a + c.a
5) identitas, a + 0 = 0 + a = a dan a.1 = 1. a = a
6) invers, a + (−a) = (−a) + a = 0 dan a.a1=a1.a = 1
Berdasar enam aksioma itu, teorema seperti −b + (a + b) = a dapat dibuktikan dengan cara berikut:
− b + (a + b) = − b + (b + a) Aks 3 - Komutatif
= (−b + b) + a Aks 2 - Asosiatif
= 0 + a Aks 6 - Invers
= a Aks 5 – Identitas
Demikian juga pernyataan bahwa jumlah sudut-sudut suatu segi-n adalah:
(n − 2) × 180
0
akan bernilai benar karena konsisten dengan aksioma yang sudah
disepakati kebenarannya dan konsisten juga dengan dalil atau teorema sebelumnya yang
sudah terbukti. Dengan demikian jelaslah bahwa bangunan matematika didasarkan pada
rasio semata-mata, kepada aksioma-aksioma yang dianggap benar tadi. Suatu hal yang
sudah jelas benar pun harus ditunjukkan atau dibuktikan kebenarannya dengan langkah-
langkah yang benar.
Dari paparan di atas jelaslah bahwa pada dua pernyataan berikut:
a) Semua manusia akan mati.
b)
Jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga adalah 180
°
.;
maka baik pernyataan a) maupun b) akan sama-sama bernilai benar, namun dengan
alasan yang berbeda. Pernyataan a) bernilai benar karena pernyataan itu melaporkan,
mendeskripsikan ataupun menyimpulkan kenyataan atau fakta yang sebenarnya. Sampai
detik ini, belum pernah ada orang yang hidup kekal dan abadi. Pernyataan a) tersebut
akan bernilai salah jika sudah ditemukan suatu alat atau obat yang sangat canggih
sehingga akan ada orang yang tidak bisa mati lagi. Sedangkan pernyataan b) bernilai
benar karena pernyataan itu konsisten atau koheren ataupun tidak bertentangan dengan
aksioma yang sudah disepakati kebenarannya dan konsisten juga dengan dalil atau
teorema sebelumnya yang sudah terbukti. Itulah sekilas tentang teori korespondensi dan
teori koherensi yang memungkinkan kita untuk dapat menentukan benar tidaknya suatu
pernyataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar